KASUS PELANGGARAN ETIKA
KASUS
PELANGGARAN ETIKA BISNIS
1.Kasus
PT.Megasari Makmur dengan Produknya HIT
Perjalanan obat
nyamuk bermula pada tahun 1996, diproduksi oleh PT Megasari Makmur yang
terletak di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. PT Megasari Makmur juga memproduksi
banyak produk seperti tisu basah, dan berbagai jenis pengharum ruangan. Obat
nyamuk HIT juga mengenalkan dirinya sebagai obat nyamuk yang murah dan lebih
tangguh untuk kelasnya. Selain di Indonesia HIT juga mengekspor produknya ke
luar Indonesia. Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur
dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan
Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia.
Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi
di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan
manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan,
gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung. HIT yang
promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya
karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan
Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat
antinyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot)
dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan
melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya.
Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan
muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan
obat anti-nyamuk HIT.
Analisis
Permasalahan.
Dalam perusahaan
modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada
sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas
tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan
atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi,
siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama
itu?. Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara
sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral
bertanggung jawab
Penyelesaian
Masalah yang dilakukan PT.Megasari Makmur dan Tindakan Pemerintah.
Pihak produsen
(PT. Megasari Makmur) menyanggupi untuk menarik semua produk HIT yang telah
dipasarkan dan mengajukan izin baru untuk memproduksi produk HIT Aerosol Baru
dengan formula yang telah disempurnakan, bebas dari bahan kimia berbahaya. HIT
Aerosol Baru telah lolos uji dan mendapatkan izin dari Pemerintah. Pada tanggal
08 September 2006 Departemen Pertanian dengan menyatakan produk HIT Aerosol
Baru dapat diproduksi dan digunakan untuk rumah tangga (N0. RI. 2543/9- 2006/S).Sementara
itu pada tanggal 22 September 2006 Departemen Kesehatan juga mengeluarkan izin
yang menyetujui pendistribusiannya dan penjualannya di seluruh Indonesia.
2. Kasus
Pelanggaran Pada PT. PLN
PT. Perusahaan
Listrik Negara (Persero) adalah perusahaan pemerintah yang bergerak di bidang
pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini, PT. PLN masih merupakan
satu-satunya perusahaan listrik sekaligus pendistribusinya. Dalam hal ini PT.
PLN sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan
mendistribusikannya secara merata. Usaha PT. PLN termasuk kedalam jenis
monopoli murni. Hal ini ditunjukkan karena PT. PLN merupakan penjual atau
produsen tunggal, produk yang unik dan tanpa barang pengganti yang dekat, serta
kemampuannya untuk menerapkan harga berapapun yang mereka kehendaki. Pasal 33
UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat disimpulkan bahwa
monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pasal 33
mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama
yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan
mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi
pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari
kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk
kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan
pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas
kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Contoh Kasus
Monopoli Pada PT. PLN
1. Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik
mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga
listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat
ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk
Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy, Edison
Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke Energy,
Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga listrik
yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendirI.
2. Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN)
memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk
Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh
pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali
sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan
bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman
dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan
pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di
pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat
yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar
minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan
listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak
mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum
terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana
contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi
masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Analisis Permasalahan.
Jika dilihat dari teori etika deontologi : Dalam kasus ini, PT.
Perusahaan Listrik Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik,
yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak
diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu
memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika
deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya. Jika dilihat dari teori etika
teleologi : Dalam kasus ini, monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak
langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan
hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau
dari teori etika teleologi.
Dari wacana diatas dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik
Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian
pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
3. Keterlambatan Maskapai Penerbangan Wings Air
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai
Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut
digugat oleh seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang
tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan
gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi
terlambat paling tidak sembilan puluh menit. Kasus ini terjadi pada 16 Agustus
lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket
pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas waktu yang tertera di tiket,
ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi
ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat
dari jadwal. DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum
dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi
petugas maskapai itu di bandara.
Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke
pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan
klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan,
hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Analisis Permasalahan
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak
pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud
dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu
bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas. Bahwa yang dimaksud dengan Hukum
Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari
Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi.Hukum
tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian
dan kemakmuran rakyat.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak
Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan
secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan
konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana
ekonomi dalam arti luas.
Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah
yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan
komprehensif dapat dilindungi.
Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan
yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan
Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan
Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak
mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
4. Kasus Batavia Air
BATAVIA AIR Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan,
menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit, PT Metro Batavia
(Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia
mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013. Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan
tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat
Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji.
Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender
yang dilakukan pemerintah. Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta,
yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan
pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena maskapai
itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit
kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah
disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang. Dari
bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti adanya utang
oleh Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan
putusan pailit.
Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau
tidak mengajukan, maka pailit tetap.” Batavia Air pasrah dengan kondisi ini.
Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal
dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi
Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan. Dirjen
Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air
untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli
tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga
di bandara seluruh Indonesia
5. Kasus
Pelanggaran Indomie
INDOMIE Indomie adalah merek produk mi instan dari Indonesia. Di
Indonesia, Indomie diproduksi oleh PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Selain
dipasarkan di Indonesia, Indomie juga dipasarkan secara cukup luas di manca
negara, antara lain di Amerika Serikat, Australia, berbagai negara Asia dan
Afrika serta negara-negara Eropa, hal ini menjadikan Indomie sebagai salah satu
produk Indonesia yang mampu menembuspasar internasional . Di Indonesia sendiri,
sebutan "Indomie" sudah umum dijadikan istilah generik yang merujuk
kepada mi instan.
Namun pemasaran Indomie ke luar negeri bukannya tanpa masalah, di
Taiwan sempat terjadi masalah ketika produk Indomie ditarik dari pasaran,
berikut ini penjelasannya “Pihak berwenang Taiwan pada tanggal 7 Oktober 2010
mengumumkan bahwa Indomie yang dijual di negeri mereka mengandung dua bahan
pengawet yang terlarang, sehingga dilakukan penarikan semua produk mi instan
"Indomie" dari pasaran Taiwan. Selain di Taiwan, dua jaringan
supermarket terkemuka di Hong Kong untuk sementara waktu juga tidak menjual mi
instan Indomie
• PT. Indofood Sukses Makmur,Tbk Melakukan Pelanggaran Etika Bisnis
Karena pada produk indomie yang diproduksi oleh perusahaan mengandung dua zat
berbahaya yaitu methyl parahydroxybenzoate danbenzoic acid (asam benzoat)
dimana dua zat tersebut seharusnya hanya untuk kosmetik bukan untuk makanan.
Perusahaan telah melanggar prinsip etika dalam berbisnis yaitu prinsip
keadilan, dan prinsip saling menguntungkan, dimana perusahaan hanya
mementingkan keuntungan semata tanpa memikirkan para konsumen yang mengonsumsi
mie instan yang mengandung zat berbahaya.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya
bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie
instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas
wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.Tetapi bila kadar nipagin
melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mgper kilogram untuk
mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lainkecuali daging,
ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah
dan sangat berisiko terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia
yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,produk Indomie sudah
mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu,gizi dan kemanan
produk pangan.
Komentar
Posting Komentar